Jumat, 26 Desember 2014

Luk(aku)
namaku Luka
aku dibesarkan dengan teriakan
dan makanan seadanya
dibiarkan jalan sendirian
tanpa uang jajan
di sekitarku penuh tipu muslihat
aku tak diajarkan salat

pagiku tidak diawali dengan sarapan
kalau beruntung aku berangkat sekolah diantar ayah

aku Luka yang tidak minta diobati
ketika luka lain biasa diperban
Lukaku tak pernah merengek
minta dibelikan mainan

malamku diakhiri dengan makian
hanya karena menumpahkan minuman
mungkin ibu sedih karena ayah tak pulang
Lukaku paham

katanya (Luk)aku durhaka
padahal semua sudah kubagi dua
karena Lukaku ingat
dulu kita makan nasi kecap
tapi baginya Luk(aku) masih durhaka
hanya karena sekali-kali balik melawan
memaparkan kebenaran
waktu dibilang cangkeman

Lukaku kini menemukan cinta
meski kalian namai kesalahan
dan mengoreknya tiap kali
kehabisan bahan olokkan

Lukaku tumbuh diantara kalian
yang mentang-mentang kaya
yang mentang-mentang miskin
Lukaku memborok nyeri
bersama fitnah-fitnah keji

hari ini,
Lukaku memutuskan
untuk tak perlu meluruskan
apa yang telah kalian belokkan
untuk tak perlu mencari pembelaan
atau melawan balik waktu dibilang cangkeman
meski kadang ia kembali menganga
tapi tak apa
karena dunia bukan peradilan terakhir
bagi siapa saja yang mengaku hambaNya
dan terLuka.


Dec 16

Kamis, 04 Desember 2014

ku beri kau nama



ku beri kau nama Gadis
agar lugumu tak lekang oleh waktu
agar manismu menang melawan zaman

ku beri kau nama Cantik
agar mereka tahu kau anakku
agar bunga, merah muda, pagi, pantai, senja, mengingatkanku padamu

ku beri kau nama Mulia
agar paras tak menguasai hati
agar dunia tak melesapkan nurani

ku beri kau nama Cinta
agar mereka yang ribut karena perut
agar mereka yang lupa saudara karena harta
suatu hari mengerti
kau lah Tulus yang melawan akal bulus

                                                                                      8 juni

Belum Ada Judul



sela siang kelabu
mendung memberiku waktu
jadi sela tak sekedar sela
dan, ku mulai dengan hela

sampai aku disini
pena, kertas, kegelisahan
dan beberapa dari kalian

mulai dari aku
ku tulis seadanya
apa adanya :
“Saat ini, ku balas suratmu dengan gelisah. Tapi ku bayangkan segala yang bahagia”

Waktu kau senyum melihatku senyum
Waktu aku pura-pura kuat agar kau juga
Waktu matahari hanguskan hati (kita)
Waktu hujan luruhkan segala duka lara
Waktu kau jatuh cinta
Waktu aku hamper jatuh cinta
Waktu kau menangis karena dia
Waktu ada kita

Sela siang
Sore menjelang
Langit kembali terang
Ku lupakan gelisahku sebentar
Saat ini,
Ku putuskan
Ku serahkan sebagian kecil hatiku (sebagian besar milik Gadisku)
Karena aku tak ingin berlari sendiri
Karena esok terlalu ragu untuk ku lewati
Tanpa peluk erat, tanpa canda hangat
Dari kalian yang sore ini kupanggil Sahabat
                        (semoga selamanya)


                                                                                                November,
                                                                                                Sudut kelas Gaduh

Minggu, 26 Oktober 2014

There's nothing rewarding to see you growing up and happy. Even tought sometimes you have to lost, but soon, got up and beat them all !

Prolog



Prolog
            Bumi basah lagi. Hujan membuat semuanya semakin sulit dilupakan. Aku berhenti menangis. Terlintas hangatnya pelukan dan dinginnya kenyataan. Sebuah ironi bukan?
            Aku berjalan di jalanku. Seorang diri. Menyeret langkahku pelan. Langkahku yang berbekas. Lalu lampu mulai temaram. Kamu ingin aku berlari agar tak ada jejak yang ku tinggalkan, yang bisa kau ikuti. Berarti kau mencari? Menelusuri? Berharap menemukanku disatu tempat suatu saat? Berarti aku kau cari?. Kamu melewatinya dengan lebih bijak, setidaknya itu yang ku dengar. “Teruskan langkahmu, bersama laki-laki yang ada di depanmu. Akan ku simpan wajahmu di setiap sudut mataku memandang.”
Apanya yang bahagia? Kita berjalan masing-masing dan nyatanya masih saling mencari. Rasa yang di tanamkan terlanjur mengakar. Bila malam datang, resah terbaring di kamarku. Berangan-angan. Berandai-andai, hingga lelah dan tertidur. Dalam mimpi, Ku cari sisa suara suara mu di ruangan hitam. Tak ku temukan. Ku cari sisa aroma mu di ruangan putih. Tak ku temukan. Ah, bodohnya aku! Kamu warna. Ku cari kau di ujung pelangi. Aku menemukanmu. Menemukanmu untuk di peluk sekali lagi, kemudian ku lepaskan. Ku relakan.
Waktunya aku bermabuk-mabukkan. Tapi dengan apa? Bergelas-gelas minuman?. Dengan memejamkan mata dan mengingat pelukan itu. Masih bisa kurasakan. Aku mabuk.





                                                                                                Jan, 22 ‘14
.

PELUK



PELUK

Lepaskan ku segenap jiwamu
Tanpa harus ku berdusta
Karena kaulah satu yang ku sayang
Dan tak layak kau didera
            Gemuruh suara gerimis membangunkan ku. Buru-buru ku pejamkan mata lagi. Berharap bisa melanjutkan mimpiku. Mimpi menyenangkan yang menggangguku, dan wajah itu.
Baru beberapa hari sejak kita duduk berdua dan ku katakan semua yang menghancurkan kita. Perasaan, jiwa, hati. Entah siapa yang lebih hancur. Aku dengan segala beban ku atau kamu. Sejak malam itu, kita memutuskan untuk menjalani hidup kita masing-masing. Kamu meyakinkanku , “Kamu bisa, aku ini cuma prolog. Pembuka dan singkat.” Aku sangat ingin meyakinkanmu bahwa kamu lebih dari itu. Sejak pertama kita bertemu, wajahmu mulai menggelisahkan ku. Senyummu. Matamu. Hari-hariku jadi semakin punya arti. Aku berusaha keras melupakanmu tapi nyatanya tidak, bahkan sedikitpun tidak. Ku cari cara lain, dengan mencoba membencimu. Percuma, sia-sia.
Tapi sayangnya malam itu aku cuma bisa diam. Tenggorokanku tercekat. Sesak. Aku memang tidak pandai berkata-kata. Aku diajarkan untuk diam dan menerima sejak kecil. Tapi sekali ini saja, untuk cintaku, aku ingin melawan tanpa ingin menyakiti siapapun. Jauh di dalam lubuk hati ku, aku berharap semuanya akan baik saja sama seperti sebelumnya. Senyummu, matamu, tetap mewarnai hariku, setelah ku katakan yang sejujurnya, yang sebenarnya sudah lama kau sadari. Tapi kamu tidak bisa menerimanya, pilihanmu adalah menjauh dariku.
Musim hujan, hatiku berdarah. Aku seperti Shinta yang kehilangan Arjunanya. Apapun yang buruk-buruk pantas untuk menggambarkan hatiku saat ini. Baru beberapa hari. Ya, beberapa hari. Sekarang hanya aku. Berusaha menyadari kenyataan dan menyembuhkan luka yang entah sampai kapan akan menyakitiku dan kamu. Akan ku biarkan hujan memukuli wajahku, biar air mataku larut tanpa ada yang tahu. Tapi bukan berarti aku melupakan kamu, laki-laki yang mencintaiku. Kamu akan tetap ku rindukan, tetap ku cintai. Demi Tuhan aku berjanji. Semoga kau dapatkan apa yang kau cari, yang tidak bisa kau dapatkan dari aku. Dan aku? BANGUN!.
                                                                                                Jan, 21 ‘14